Monday, August 28, 2017

Tip Mendapatkan Kredit Modal Kerja dan Investasi Dari Bank



Adalah sebuah hal yang biasa dan wajar bila sebuah perusahaan pada sebuah titik harus pinjam uang ke bank untuk mendanai usaha, apakah itu kredit investasi atau kredit modal kerja. Bahkan sampai ada guyonan, kalau tidak pinjam ke bank berarti masih perusahaan UKM. Maklum, seiring makin banyaknya peluang bisnis, berteman dan meminjam ke bank amat penting agar bisa menangkap semua peluang yg lewat.

Tapi faktanya memang tidak mudah meminjam ke bank. Tidak selalu kredit yang diajukan disetujui. Sebagian besar masalah pebisnis muda ialah kesulitan memperoleh permodalan dari bank.

Sebenarnya, hal tersebut tak perlu dikhawatirkan apabila Anda bisa meyakinkan bank dan selalu dapat dipercaya. 

Secara umum, bank memang harus hati-hati jaga uang karena duit bank juga duit nasabah, duitnya para penabung. Mereka wajib menaati prinsip prudential banking principles yang bertujuan mengamankan dana yang akan disalurkan sebagai pinjaman kepada calon debitur agar bisa kembali sesuai dengan jadwal dan nominal yang telah ditetapkan.

Tapi di lain sisi, anda juga perlu tahu apa sih landasan yang biasanya dipakai perbankan untuk menilai kelayakan calon debitur atau perusahaan yng akan mengajukan kredit? 

Jawabannya bisa disingkat dalam 6 C. Apa itu? 


Character

Si bank pertama kali akan melihat karakter si peminjam, suka ngemplang hutang atau nggak. Suka menipu nggak, banyak kasus hukum atau nggak. Penilaian karakter ini erat kaitannya dengan reputasi calon debitur di masyarakat dan track record-nya di kalangan para pengusaha atau pihak-pihak yang sering menjalin relasi dengannya, apakah calon debitur itu termasuk yang bisa dipercaya atau tidak dan lain sebagainya. Bank juga akan melihat apakah bisnis calon debitur memiliki sejarah pinjaman yang bermasalah atau tidak.

Capital

Ketika akan pinjam bank, bank pun akan melihat perusahaan anda seberapa punya modal. Karena dalam sebuah proyek investasi, biasanya, bank juga akan meminta debitur untuk menyediakan modal sendiri dalam kisaran 20-30%, sisanya baru dibiayai bank. Secara aturannya, bank tidak bisa 100 persen memberikan pembiayaan ke usaha yang mengajukan permodalan, biasanya hanya 70-80% yg dikasih bank. Calon debitur harus memiliki self financing atau modal sendiri yang bisa berasal dari modal disetor atau laba yang terakumulasi menjadi modal.


Capacity

Bank akan melihat kemampuan atau kapasitas calon debitur dalam mengelola usaha, menangani proyek, menyelesaikan proyek, mengembangkan usahanya, menjaga bisnisnya sehingga pasti akan membuat sebuah kesimpula apakah si calon debitur akan  mampu membayar kembali pinjaman sesuai dengan jadwal dan jumlah yang telah ditetapkan.  Capacity di sini juga berkaitan dengan kapasitas usaha seperti hasil penjualan, struktur biaya, arus kas, perputaran tagihan, biaya terhadap pendapatan dan lain sebagainya.

Condition

Berhubungan dengan kemampuan calon debitur dalam menghadapi perubahan kondisi lingkungan, baik yang menyangkut kondisi perekonomian dan kondisi sosial masyarakat serta politik, di mana usaha atau proyek berada.

Kondisi ini juga berkaitan dengan perizinan. Misalnya, untuk usaha mikro, izin tersebut dapat berasal dari kelurahan atau kecamatan, dan sebagainya.

Collateral

Berhubungan dengan jaminan utaman dalam pembiayaan yakni sumber pengembalian kredit dari proyek atau usaha yang dibiayai. Jenis jaminan terbagi menjadi dua yaitu jaminan berwujud dan tidak berwujud. Jaminan berwujud misalnya peralatan, mesin, kendaraan, bangunan, tanah dan sebagainya, sedangkan yang tak berwujud antara lain garansi personal atau perusahaan dan sebagainya. 

Close Relation

Bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan karena inti bisnis mereka adalah bisnis kepercayaan. Mereka hanya  meminjamkan uang untuk modal kepada siapa yang dipercaya. Nah, agar mereka bisa percaya, penting untuk menjalin komunikasi dan kedekatan dengan mereka. Tak kenal tak akan percaya. Kalau bank sudah percaya ke anda atau perusahaan anda, bahkan anda sedang tidak butuh kredit pun anda justru ditawari kok nggak ambil kredit, kok nggak ambil pinjaman lagi, dlll. Bahkan ketika ada peluang bisnis bagus mereka juga bisa refer peluang tersebut ke perusahaaan anda, Penting untuk menjadikan mereka sebagai teman bisnis anda. Kalau anda dekat dengan mereka, kalau kolateral kurang dikit akan diusahakan untuk dibantu bila prospek bisnisnya bagus. Kalau anda dekat, maka ketika agak sulit untuk nyicil, maka lebih mudah bicara solusi restrukturisasi hutang.


By the way, kalau perusahaan Bapak atau Ibu butuh modal kerja dari bank sebesar Rp 50 M- Rp 750 M, saya akan bantu kenalkan ke kawan saya eksekutif bank yg sekarang memang sedang aktif cari proyek/bisnis untuk difunding. Kredit bank bisa digunakan untuk investasi, modal kerja, modal untuk mendanai akuisisi sebuah bisnis, dan juga untuk refinancing hutang lama yang tingkat bunganya lebih besar. Saya welcome untuk membantu bila memang dibutuhkan.

Terima kasih / salam hormat

wingdarmadi@gmail.com





Kiat Cari Kredit Bank Untuk Mengembangkan Perusahaan



Adalah sebuah hal yang biasa dan wajar bila sebuah perusahaan pada sebuah titik harus pinjam uang ke bank untuk mendanai usaha, apakah itu kredit investasi atau kredit modal kerja. Bahkan sampai ada guyonan, kalau tidak pinjam ke bank berarti masih perusahaan UKM. Maklum, seiring makin banyaknya peluang bisnis, berteman dan meminjam ke bank amat penting agar bisa menangkap semua peluang yg lewat.

Tapi faktanya memang tidak mudah meminjam ke bank. Tidak selalu kredit yang diajukan disetujui. Sebagian besar masalah pebisnis muda ialah kesulitan memperoleh permodalan dari bank.

Sebenarnya, hal tersebut tak perlu dikhawatirkan apabila Anda bisa meyakinkan bank dan selalu dapat dipercaya. Anda dapat melakukannya dengan terus menjaga integritas kepada bank yang memberikan modal harus dijaga. Karena jika sudah pernah gagal di bank satu akan sulit mengajukan permodalan di bank lainnya.

Secara umum, bank memang harus hati-hati jaga uang karena duit bank juga duit nasabah, duitnya para penabung. Mereka wajib menaati prinsip prudential banking principles yang bertujuan mengamankan dana yang akan disalurkan sebagai pinjaman kepada calon debitur agar bisa kembali sesuai dengan jadwal dan nominal yang telah ditetapkan.

Tapi di lain sisi, anda juga perlu tahu apa sih landasan yang biasanya dipakai perbankan untuk menilai kelayakan calon debitur atau perusahaan yng akan mengajukan kredit? 

Jawabannya bisa disingkat dalam 5C. Apa itu? 


Character

Si bank pertama kali akan melihat karakter si peminjam, suka ngemplang hutang atau nggak. Suka menipu nggak, banyak kasus hukum atau nggak. Penilaian karakter ini erat kaitannya dengan reputasi calon debitur di masyarakat dan track record-nya di kalangan para pengusaha atau pihak-pihak yang sering menjalin relasi dengannya, apakah calon debitur itu termasuk yang bisa dipercaya atau tidak dan lain sebagainya. Bank juga akan melihat apakah bisnis calon debitur memiliki sejarah pinjaman yang bermasalah atau tidak.

Capital

Ketika akan pinjam bank, bank pun akan melihat perusahaan anda seberapa punya modal. Karena dalam sebuah proyek investasi, biasanya, bank juga akan meminta debitur untuk menyediakan modal sendiri dalam kisaran 20-30%, sisanya baru dibiayai bank. Secara aturannya, bank tidak bisa 100 persen memberikan pembiayaan ke usaha yang mengajukan permodalan, biasanya hanya 70-80% yg dikasih bank. Calon debitur harus memiliki self financing atau modal sendiri yang bisa berasal dari modal disetor atau laba yang terakumulasi menjadi modal.


Capacity

Bank akan melihat kemampuan atau kapasitas calon debitur dalam mengelola usaha, menangani proyek, menyelesaikan proyek, mengembangkan usahanya, menjaga bisnisnya sehingga pasti akan membuat sebuah kesimpula apakah si calon debitur akan  mampu membayar kembali pinjaman sesuai dengan jadwal dan jumlah yang telah ditetapkan.  Capacity di sini juga berkaitan dengan kapasitas usaha seperti hasil penjualan, struktur biaya, arus kas, perputaran tagihan, biaya terhadap pendapatan dan lain sebagainya.

Condition

Berhubungan dengan kemampuan calon debitur dalam menghadapi perubahan kondisi lingkungan, baik yang menyangkut kondisi perekonomian dan kondisi sosial masyarakat serta politik, di mana usaha atau proyek berada.

Kondisi ini juga berkaitan dengan perizinan. Misalnya, untuk usaha mikro, izin tersebut dapat berasal dari kelurahan atau kecamatan, dan sebagainya.

Collateral

Berhubungan dengan jaminan utaman dalam pembiayaan yakni sumber pengembalian kredit dari proyek atau usaha yang dibiayai. Jenis jaminan terbagi menjadi dua yaitu jaminan berwujud dan tidak berwujud. Jaminan berwujud misalnya peralatan, mesin, kendaraan, bangunan, tanah dan sebagainya, sedangkan yang tak berwujud antara lain garansi personal atau perusahaan dan sebagainya. 

By the way, kalau perusahaan Bapak atau Ibu butuh modal kerja dari bank sebesar Rp 50 M- Rp 750 M, saya akan bantu kenalkan ke kawan saya eksekutif bank yg sekarang memang sedang aktif cari proyek/bisnis untuk difunding. Kredit bank bisa digunakan untuk investasi, modal kerja, modal untuk mendanai akuisisi sebuah bisnis, dan juga untuk refinancing hutang lama yang tingkat bunganya lebih besar. Saya welcome untuk membantu bila memang dibutuhkan.

Terima kasih / salam hormat

wingdarmadi@gmail.com





Thursday, August 17, 2017

PT Hariff Daya Tunggal Engineering, Bintang Bisnis ICT dari Bandung



Perjalanan hidup tidaklah linear. Kegagalan dan kesulitan tak perlu disesali berlebihan karena semuanya bisa diselesaikan bila mengerahkan seluruh kesungguhan dan kemampuan. Kesuksesan hanyalah sebuah garis lanjut ketika siapapun mau menekuni bidang yang menjadi  spesialisasinya secara fokus dan terus mengembangkan diri. Prinsip itu tampaknya menjadi senjata andalan bagi Budi Permana dan lima kawannya dalam berwirausaha di bisnis telko, mengibarkan Group Hariff. Mengaplikasikan prinsip tersebut, Budi dkk sanggup memiliki perusahaan telko yang  memperkerjakan 700 karyawan.


Group Hariff (GH) yang asal Bandung ini tak salah bila disebut  sebagai salah satu pemain lokal besar besar di bisnis yang  digeluti. GH memang punya banyak anak usaha namun semuanya  fokus. Tak ada yang keluar dari bisnis intinya, bisnis telko. Gh memproduksi perangkat mekanik untuk menunjang industri infrastruktur telko. Mulai dari pembuatan power system, alat transmisi, pembuatan BTS baik yang mobile maupun fix, produk berbasis WiMax, hingga penyedia jaringan broadband wireless access.


HG menekuni mulai dari pelayanan jasa teknisnya, perencanaan sistem, pabrikasi hingga produk dan  layanan lain yang dikembangkan dengan sistem turnkey project untuk pelaku telko. Pelanggannya hampir seluruh operator seluler di  tanah air. Menarik, bila dulu perusahaan ini dibangun enam sekawan tanpa modal uang, kini sudah punya pabrik dan perkantoran seluas 1,3 ha di Jl Soekarno-Hatta Bandung. Kisaran omset tahunan Hariff Grup sudah ratusan miliar, menampung 700 karyawan tersebar di berbagai cabang  dan unit bisnisnya.






Kehadiran Hariff Group memang menjadi antitesis dari paradgima bahwa para entrepreneur lokal hanya bisa sukses di bisnis-bisnis  yang tak perlu 'putar otak' banyak serta di segmen produk non value added.  Sangat pantas kalau awal tahun 2009 ini Hariff Group menerima penghargaan Rintisan Teknologi dari Presiden RI atas prestasinya dalam melakukan  invensi (penciptaan atau perancangan) teknologi di berbagai bidang  yang digarapnya.


Bila dikilas balik, cikal-bakal Group Hariff dimulai dengan berkumpulnya 6 sekawan --  lima diantarannya jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) -- tahun  1982. Sejak awal mereka ingin mendirikan perusahaan bidang telekomunikasi. "Keenam orang ini pada dasarnya memang tukang ngoprek (suka utak-atik) barang. Tapi kita juga punya mimpi untuk meningkatkan produksi dalam negeri lewat kemampuan anak bangsa,"  jelas Budi Permana, satu dari enam sekawan itu yang sekarang didapok sebagai President Director PT Hariff Daya Tunggal Engineering.


Mereka berenam sebelumnya aktif di Radio 8 EH ITB -- radio  siaran mahasiswa ITB -- yang begitu lulus lalu memencar untuk mencari namun kemudian bertemu dan bersama lagi. "Ada sejarah cukup panjang  sebelumnya, satu sama lain sudah percaya, lalu bertemu lagi bikin usaha,"  ujar Budi Permana yang lulusan Teknik Elektro ITB angkatan '74' ini. Awalnya aktifitas usaha yang didirikan bergerak di proyek telekomunikasi HF, VHF dan UHF. Lalu, tahun 1986, juga sempat membuat perusahaan konsultan telko. Pengalaman selama menjalankan usaha-usaha awal itu rupanya menghasilkan jaringan dan kepercayaan terhadap kemampuan enam sekawan ini di dunia  infrastuktur telko.


Dua tahun kemudian, 1988, mereka mendapatkan proyek besar di  Sangatta, Kutai, Kalimantan Timur. Namun menemui kendala karena belum punya  bendera perusahaan yang bisa dijadikan kendaraan untuk ikut tender proyek. Akhirnya, mereka mengakuisisi perusahaan bidang general trading bernama PT Hariff Tunggal Engineering, milik Ahmad Shukri Bay  yang saat ini menjadi komisarisnya.


Proyek pertama Hariff, mendirikan stasiun bumi di PT Kaltim Prima Coal, Kutai, Kalimantan Timur. Ia teringat, dalam mengerjakan proyek itu pihaknya tidak punya modal uang, hanya berbekal kepercayaan mitra.  Padahal nilai proyeknya Rp 2,3 miliar. Angka yang terbilang untuk  saat itu, apalagi bagi entrepreneur pemula. Mereka mampu menjalankan proyek itu karena kepercayaan pihak  bank. "Kepada bank saya jelaskan bahwa kita punya bisnis dengan prospek seperti ini, kemampuan kita begini. Saya modal dengkul tidak  punya apa-apa. Untungnya pada saat itu pemberian pembiayaan dari  bank bagitu mudah sehingga soal keuangan tidak menjadi  masalah," kenang laki-laki kelahiran Tasik 8 Februari 1954 ini.


Toh demikian, dalam perjalanannya, dua tahun kemudian bisnis mereka kurang mulus. Memang perusahaan itu punya proyek namun secara keseluruhan operasi bisnisnya merugi. Tak heran,  bank juga memasukkannya sebagai perusahaan tak layak kredit. Tak  pelak lagi, Budi ikut pusing tujuh-keliling saat itu, walaupun posisinya bukanlah orang nomor atau dirut sebagaimana saat ini. Sebenarnya,  ditengah perusahaan patungan yang gonjang-ganjing itu bisa saja Budi cabut keluar dan memilih bergabung di perusahaan mapan yang  memang banyak yang membutuhkan tenaga ahli seperti dirinya. Hanya  saja, di benaknya terbayang-bayang nasib 15 karyawan lainnya yang  menggantungkan hidup dari perusahaan itu.


Buramnya kondisi perusahaan tersebut akhirnya justru melecutnya untuk bertahan dan mengembangkan agar lebih maju. Gayung bersambut, mulai tahun 1991 ia didapok untuk mengambil alih nahkoda  perusahaan, menjadi presiden direktur. Ia lalu mencoba menstimulir  timnya untuk mencari peluang-peluang baru agar perusahaan bisa bertahan. Tak  heran, tak lama setelah itu Hariff mulai banyak menggarap proyek  jaringan kabel telepon di Surabaya, Jakarta dan Batam.


Lalu, tahun 1994 saat teknologi telepon seluler mulai muncul, Hariff  juga mulai ikut terjun sebagai penyedia infrastruktur. Ia menawarkan jasanya ke perusahaan-perusahaan operator seluler. Cara ini tak terlalu sulit dilakukan karena sebelumnya rata-rata pemain seluler sudah kenal dan percaya dengan awak Hariff. Di industri seluler, sejak awal produk yang disediakan Hariff ialah power system -- unit alat yang  merupakan bagian dari base transceiver station (BTS). Penemuan  bisnis power system merupakan berkah tersendiri bagi Hariff karena dalam perjalanannya, bisnis itu mampu menjadi tulang punggung.  "Bahkan hingga saat ini produk ini menjadi kontribusi terbesar  perusahaan," Budi jujur mengakuinya.


Tak lama setelah mengeluakan power system, Hariff juga mengembangkan perangkat mobile  BTS. Tak ubahnya BTS, mobile BTS juga sangat dibutuhkan perusahaan  operator seluler untuk menjalan bisnis seluler. Bedanya, Mobile BTS digunakan untuk daerah-daerah yang belum terjangkau. Ia juga bisa berfungsi sebagai alat pemancing sekaligus alat survei jumlah customer.  Misal ada suatu daerah yang belum terjangkau jaringan (belum ada  BTS-nya), maka dipasanglah mobile BTS. Ketika responnya tampak bagus atau jumlah customer sudah banyak baru kemudian dibangun BTS permanen.  "Kalau harus membangun fixed BTS butuh waktu lama. Kalau mesti nunggu BTS fix bisa kalah cepat, pelanggan keduluan direbut operator lain," Budi menjelaskan kenapa mobile BTS banyak dibutuhkan. Yang menarik, di bisnis mobile BTS ini Hariff  merupakan pelopor dan hingga kini jumlah produksinya sudah lebih dari 3  ribu unit.


Pada tahun 2000 GH ingin memperluas bisnisnya di bidang telko sehingga mendirikan anak perusahaan lagi. Budi dkk memimpikan sebanyak mungkin pekerjaan telko di Indonesia dikerjakan perusahaan lokal. Hariff yang sebelumnya lebih banyak bermain di sisi  elektroniknya kemudian juga tertarik ke industri mekanikal-nya. Maka didirikanlah PT Telehouse Engineering  (Telehouse). Telehouse membuat perangkat mekanik untuk menunjang  industri infrastruktur telko, contohnya membuat tower BTS.


"Omset Telehouse tahun kemarin Rp 230 miliar dan bisa membangun hingga 7000 BTS dalam satu tahun," ujar Budi seraya menjelaskan pihaknya punya perwakilan di 32 kota Indonesia untuk membantu  service dan logistik dari bisnis ini. Tak hanya itu, di tahun 2004 juga  mendirikan PT Sarana Inti Persada (SIP) yang bisnisnya menyewakan infrastruktur telko. Maklum, makin banyak perusahaan operator seluler yang tidak ingin membangun sendiri infrastruktur BTS-nya, namun menyewa milik pihak ketiga seperti SIP. Dalam lingkup Group  Hariff, SIP sekaligus juga ditujukan untuk menampung produk-produk Telehouse. Hingga saat ini ada sekitar 110 tower yang telah dibangun  dan disewakan oleh SIP. Baik Telehouse maupun SIP merupakan pilar  penting GH saat ini.


Rupanya kesuksesan demi kesuksesan yang sudah diraih tak membuat punggawa GH puas. Terbukti mereka terus melakukan investasi di  ceruk-ceruk baru bisnis telko. Tahun 2006, contohnya, Hariff masuk mengerjakan proyek WiMax. Budi dkk merasa tertantang ketika  pemerintah menawarkan tender teknologi pita lebar (broadband wireless access/BWA) dengan  memprioritaskan konten lokal. "Apa betul? Saya bergerak di industri  ini sejak tahun 80-an dan tidak pernah ada local content. Local content tidak lebih dari 5%. Pengalaman sebelumnya menunjukkan betapa sulit meyakinkan customer karena sudah minded dengan produk luar.  Padahal kita ini negara customer, negara lain berebut menjual ke  sini," ujarnya dengan nada menggebu-gebu.


Sebab itu, ketika pemerintah mengumumkan tender BWA Budi dkk sangat antusias menyambutnya. Mereka punya keyakinan dengan menggunakan perangkat dalam negeri, perusahaan operator akan mendapatkan harga jauh lebih murah,  bisa menghemat 50%. GH berinvestasi awal Rp 10 miliar di bisnis Wimax. Untuk mewadahi bisnis BWA, manajemen GH mendirikan anak  usaha baru, PT Telemedia Nusantara.


Tahun 2008, GH punya peluang manis untuk mengakuisisi perusahaan yang memiliki  lisensi BWA 3,3 GHz, yakni PT Starcom Solusindo (Starcom). "Itu  kesempatan bagus bagi kami sehingga kami punya radio, punya lisensi  dan frekuensinya. Makanya bisa menjadi operator. Kita bisa  menyediakan internet murah," katanya sumringah. Starcom yang 100% sahamnya diakusisi Group Hariff itu hingga April 2009 akan mengembangkan pasar dan jaringan di 11 region dari target  14 region. "Yang sudah dipasang di Batam, Kalimantan, Bangka, dan Bali. Untuk Surabaya sedang digarap," terang Budi. Selanjutnya manajemen GH berencana menggabungkan (merger) Starcom dengan PT Telemedia Nusantara. Maklum, Telemedia Nusantara punya lisensi ISP sehingga  kalau digabung akan sangat sinergis.


Sekilas perjalanan bisnis GH tampak mulus. Padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Pada saat krismon 1998 contohnya, GH juga terpukul. Bisnisnya mengkeret. Hanya saja GH bisa menjadikan krisis  ekonomi sebagai peluang. Pada saat itu, tim R&D GH berhasil membuat  suatu perangkat yang fungsinya untuk menggandakan kemampuan transmisi. Menurut Budi, hanya ada 5 perusahaan di dunia yang bisa membuat  perangkat serupa, dan GH bisa menjual hingga ratusan modul. Apalagi harganya mampu bersaing dengan produk impor, karena harganya 80% lebih murah.  "Saat itu untuk mendapatkan alat ini begitu sulit. Transmisi  masih jarang. Umumnya perusahaan menggunakan teknologi microwave yang kapasitasnya hanya 4 MB. Nah alat itu bisa berfungsi sebagai  penggada sehingga kemampuan transmisinya bisa 8 MB," ujarnya.


Yang menarik, saat krismin GH punya stok produk barang itu cukup banyak yang dibiayai dengan harga produksi waktu ikurs dollar masih Rp 2500 sementara dijual dengan harga ketika USD sudah melonjak hingga level Rp 16 ribu. Tak heran, walau omset GH saat itu  turun dari Rp 20 miliar menjadi Rp 5 miliar, tetapi karena semuanya  produk stok dari barang lama sehingga tak perlu cost produksi lagi, maka GH bisa menuai untung. "Itulah yang menyelamatkan perusahaan ini dari bahtera krismon. Kami bisa hidup tanpa ada PHK," kata Budi mengenang. Yang  jelas, setelah krismon, kinerja GH bak anak panah yang dilepaskan dari busur. Melesat. Omset GH tumbuh terus berlipat-lipat tiap  tahunnya dan tahun lalu sudah mencapai Rp 800 M.


"Mensyukuri apa yang diberikan Alloh," Budi yang terus berusaha menjadi entrepreneur spiritual ini menuturkan kunci suksesnya.  Menurutnya, tidak perlu muluk-muluk mencari bisnis lain yang tidak dikuasai. "Kita fokus saja pada bidang yang kita kuasai". Baginya yang  terpenting di binsis infrastruktur telko ini soal kepercayaan pelanggan. Faktor trust. Sebab itu, pekerjaan membina kepercayaan pula yang terus dikembangkan. Kepercayaan sendiri tercipta melalui  pengalaman-pengalaman dalam pelayanan dengan cara terus memberikan solusi-solusi terbaik untuk pelanggan. "Kami punya ujung tombak di seluruh Indonesia sehingga kalau ada masalah bisa melakukan penangan cepat," Budi menceritakan kiatnya


Promosi yang dijalankan GH lebih banyak melalui mulut ke mulut. Selain itu juga melalui personal branding dari para pimpinan GH yang memang sudah dikenal di industri seluler tanah air. Toh  demikian, semua itu ujung-ujungnya tetap harus melalui profesionalisme dalam mengerjakan semua permintaan pelanggan.


Diantara mitra GH ialah Nokia Siemens Network (NSN) yang di  Indonesia banyak membangun infrstruktur jaringan seluler. Hariff sudah bermitra dengan Nokia sejak 2001. NSN banyak bekerjasama dengan Hariff untuk membangun lokasi-lokasi pemancar dan penerima GSM di wilayah di Indonesia, mulai dari kota besar hingga kota kecamatan. Hariff menyediakan perangkat catuan daya yang  diperlukan di lokasi.


Selain itu Nokia Siemens Network, Telkomsel juga termasuk diantara  deretan mitra pelanggan GH. Telkomsel bekerja kerjasama Hariff sudah terjalin sejak Telkomsel berdiri. Hariff banyak bekerjsama dengan Telkomsel terutama untuk menyediakan power system. Ketika Telkomsel ekspansi besar-besaran dalam pembangunan BTS di berbagai daerah, Hariff banyak terlibat. Banyak perusahaan yang menawarkan power system ke Telkomsel, namun siapa yang teknologinya cocok dan harganya sesuai itu yang dipilih,  Selain itu Telkomsel juga bekerjasama dengan untuk pengadaan "combat" mobile  BTS yang difungsikan untuk daerah-daerah yang belum terjangkau sinyal jika ada event tertentu.


Yang jelas, sejauh ini pengalaman kerjasama dengan GH dinilai cukup memuaskan. Hariff memberikan support cukup baik. Ketika dibutuhkan bisa langsung menghandle masalah serta memberikan solusi sesuai kebutuhan. Ia  punya organisasi di berbagai provinsi sehingga kalau ada gangguan pemeliharaan bisa cepat ditangani,. Tenaga ahlinya juga kompeten di bidangnya.



Pemerhati industri telko Gunawan Wibisono menimpali, sepengetahuannya Hariff merupakan perusahaan lokal di bidang pembuatan rectifier yang sangat dibutuhkan para operator telko untuk mensupport sistem catu daya. Ia melihat Hariff cukup berpengalaman dan punya SDM serta organisasi  yang solid. Manajemen Hariff telah mampu menangkap peluang bisnis di  telko seluler yang hampir semuanya dikuasai asing ini secara jeli. "Setahu saya dia satu-satunya pemain lokal yang memproduksi  rectifier," kata Gunawan.


Kebutuhan akan perangkat BWA (dibaca WiMAX) di Indonesia sangat  besar, apalagi sekarang pemerintah mengeluarkan regulasi BWA yang membuat makin kondusif bagi perkembangan bisnis perangkat BWA. Berbicara prospek Hariff, kata Gunawan, sangat tergantung pada strategi yang dijalankan  karena di segmen BWA ada kompetitor seperti TRG dan LEN yang juga  pemain lokal.


Gunawan menyarankan, agar mampu terus eksis, GH mesti terus  menghasilkan produk-produk perangkat telko yang mengikuti perkembangan teknologi. "Setelah WiMAX 16d tentu harus bisa  dilanjutkan atau berevoluasi ke WiMAX 16eatau 16m, dan bila dimungkinkan siap-siap menangkap peluang peengembangan teknologi LTE," pesannya. Juga perlu juga berkolaborasi dengan partner asing yang  kredibel. "Kolaborasi adalah langkah yang efisien dan efektif dalam  mengembangkan bisnis saat ini," Gunawan menyarankan.


Selaku komandan GH Budi sendiri optimis industri telekomunikasi di Indonesia masih terus menarik sehingga GH tetap punya prospek cerah. "Saat Indonesia booming satelit, banyak  perusahaan AS kaya raya. Begitu juga waktu booming seluler. Dan saat ini giliran WiMax. Industri seluler sudah mencapai 120 juta pelanggan dalam 15 tahun terakhir, harapannya industri WiMax juga mengalami  nasib sama, semakin banyak orang yang mengakses internet," Budi  menjelaskan visinya.


Yang pasti pihaknya terus berusaha tidak tertinggal dengan cara terus melakukan inovasi. "Kita selalu berpikir untuk memberi suatu kontribusi untuk bangsa, dan kami tidak ingin jadi follower," prinsip engineer yang suka ngoprek ini. Untuk itu pula kini pihaknya sedang menyiapkan untuk pengembangan bisnis konten yang kini juga makin dilirik kalangan network provider dan operator.  Bahkan Group Hariff kini juga sudah membangun sistem telekomunikasi yang digunakan untuk kepentingan militer dan pertempuran. Selama ini sistem pengendalian telekomunikasi militer selalu dipasok oleh oleh produsen software asing. Hal inilah yang memunculkan keprihatinan para petinggi Hariff untuk membuat solusi untuk sistem militer agar kerahasian negara tidak jatuh ke tangan asing.








Membedah Kinerja Sekar Bumi



Bisnis makanan dan minuman terbukti menjadi sektor paling stabil dibanding sektor bisnis lain. Tak heran bila perusahaan-perusahaan yang berbisnis pada sektor tersebut kinerjanya cenderung lebih terjaga, tidak mudah goyah. Terlebih kalau perusahaan itu bisa mendiversifikasi marketnya hingga tak tergantung pasar domestik. 

Salah satau satu saham perusahaan publik yang layak dicermati, PT Sekar Bumi Tbk (SKBM) yang bisnisnya di bidang pengolahaan hasil laut secara terintegrasi. Perusahaan ini punya prospek bagus karena pasarnya juga kuat di pasar global. Dus, tak semata-mata tergantung pasar Indonesia. Terlebih Sekar Bumi dalam beberapa tahun belakangan juga aktif melakukan ekspansi bisnis dan mendirikan pabrik-pabrik baru. 

Produsen makanan beku ini sekarang juga sedang mempersiapkan untuk membangun pabrik pengolahan makanan beku di lamongan, Jawa timur. Presiden Direktur SKBM Harry Lukminto menjelaskan, nilai investasi pabrik baru ini kurang lebih sama dengan nilai investasi pabrik sebelumnya, sekitar Rp 200 miliar. Catatan saja, belum lama ini perseroan baru merampungkan pembangunan pabrik baru di Cikupa, Tangerang. "Beberapa pabrik mulai kami bangun karena utilisasi pabrik lama sudah mendekati 100%," tutur Harry. 

Di sisi lain, manajemen SKBM mulai melihat adanya peluang pergeseran permintaan makanan beku yang mengarah ke produk SKBM baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Saat ini ada beberapa lini produksi yang digarap Sekar Bumi melalui pabriknya di Cikupa. Ada yang untuk mengolah sosis dengan bahan baku ikan, ada juga yang untuk divisi makanan olahan SKBM. Lokasi Cikupa dipilih karena dekat dengan Jakarta.

Pasar makanan siap saji Indonesia memang semakin berkembang sehingga perseroan berencana terus ekspansi kapasitas dan menjadikan wilayah Jakarta untuk logistik khusus makanan beku. Sejauh ini, sekitar 85% pendapatan SKBM berasal dari pasar ekspor. Sisa 15% berasal dari penjualan dalam negeri. Per Juni, total penjualan SKBM tercatat Rp 704,18 miliar. Pada tahun buku 2015, perseroan meraih penjualan setahun sebesar Rp 1,36 triliun.

Tahun depan, SKBM akan mengembangkan pangsa pasarnya ke wilayah Afrika. Ini merupakan target pasar baru bagi perseroan. “Kami akan kembangkan ke sana, terutama untuk makanan olahan beku,” ujar Harry. Selain mengembangkan pasar di luar negeri, Sekar Bumi berniat meningkatkan pangsa pasar dalam negerinya menjadi 25% dari total penjualan.

SKBM merupakan perusahaan yang menaungi brand Finna, sejak awal sudah melakukan ekspor. Perusahaan ini sudah mendapatkan penghargaan Primaniyarta empat kali berturut-turut. Salah satu pelanggan besarnya ialah Walmart, raksasa ritel asal Amerika. SKBM telah mendapatkan audit green investment dari Walmart dan meraih the highest rating pada sistem mereka. Selain itu, salah satu pabrik Sekar Bumi juga sudah mendapat rating tertinggi dari The British Retail Consortium (BRC).

Sejauh ini SKBM memiliki tiga pabrik, yakni di Sidoarjo, Lamongan, dan Tangerang. Bulan Juni 2016 ini pabrik baru Sekar Bumi sudah mulai beroperasi. Tak salah bila melihat Sekar Bumi sebagai pemain udang terintegrasi karena perusahaan ini memang memiliki bisnis hulu-hilir, mulai dari pabrik khusus udang, bahan pakan, hingga tambak udang. Perusahaan ini membudidayakan udang vannamei atau whiteleg shrimp. Selain itu ada juga produk seafood seperti ikan, mini wonton, fish ball, fish cake, samosa, dim sum, dll.

Belakangan ini SKBM juga mulai memperkenalkan makan ekspor seperti frozen tempe, frozen petai, frozen lele, frozen unagi atau belut, frozen bumbu pecel, ke Korea dan Middle East. Pada tahun 2017 SKBM berharap bisa mendobelkan bahkan mentriplekan volume penjualan dan di 2018-2019 bisa mencapai 85.000 ton pertahun untuk produksi makanan udang maupun makanan value added (frozen food).

Dalam waktu dekat, SKBM juga akan menggelar rights issue. Perseroan bakal menerbitkan 2,3 miliar saham baru atau setara dengan 71,06% dari modal disetor. Target perolehan dananya sekitar Rp 1,2 triliun. Perseroan rencananya akan menggunakan dana hasil rights issue untuk meningkatkan pertumbuhan bisnis serta melakukan transaksi akuisisi dan penyertaan modal anak usahanya yang bergerak dalam bidang pembesaran ikan air payau atau tambak udang.



Pengusaha Ini Sukses Bisnis Food Supplier




Dengan modal cekak, dia sukses menjadi pengusaha makanan yang memasok perhotelan dan resto. Dia bahkan menjadi pemain global. Elisabeth Liman Dia entrepreneur yang memulai usaha dengan modal amat terbatas -- tidak mewarisi miliaran rupiah dari orang tua -- dan membangun sendiri bisnisnya tahap demi tahap. Di kalangan masyarakat perhotelan, resto, supermarket, sosok Elisabeth bukanlah nama asing. Demikian pula perusahaan yang dikibarkannya, PT Indoguna Utama. Maklum, rata-rata hotel besar di Indonesia menjalin hubungan dengan Indoguna untuk kebutuhan pasokan daging dan bahan makanan lain seperti keju, seafood, gourmet dan wine. Indoguna terbilang salah satu pemain terbesar di bisnis ini. Di Jakarta saja pelanggannya lebih dari 120 perusahaan (hotel, resto, chain store, maskapai penerbangan) yang mayoritas merupakan nama-nama besar.

Indoguna bahkan punya cabang dan anak usaha di beberapa negara. Di antaranya di Dubai, Hong Kong, Singapura, Australia, Kazakhstan, Taiwan, Amerika Serikat dan Lebanon. Salah satu perusahaan di Australia bahkan sukses mengekspor produk dari Negeri Kanguru ke 28 negara. Tak mengherankan, perusahaan tersebut (Mulwarra Export Pty. Ltd.) mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Australia atas prestasinya di bidang ekspor. Elisabeth kini memperkerjakan lebih dari 1.000 karyawan, tersebar di beberapa negara, termasuk Indonesia.

Perjalanan bisnis Elisabeth tak bisa dipisahkan dari Makassar. Maklum, dia memang dibesarkan di kota terbesar di Indonesia Timur itu dan di sana pula orang tuanya tinggal. Sejak muda, dia sangat menyukai tantangan dan gampang bosan melakukan hal-hal yang baginya tidak menantang lagi. Dia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, tapi hanya betah menjalani kuliah setahun. Kemudian pindah ke Fakultas Ekonomi, tetapi juga tidak bertahan lama. Hingga tiga kali ganti jurusan, akhirnya dia menyerah. "Saya merasa tidak ada tantangan dengan pekerjaan kuliah yang monoton seperti itu," ungkapnya.

Jakarta menjadi tempat hijrahnya. "Saya pikir kenapa kok harus terdiam hanya sebatas di Makassar, padahal tantangan di lain tempat begitu luas," kata anak pasangan bukan pengusaha itu. Tak berapa lama tinggal di Ibu Kota, dia merasa tertantang untuk pindah ke luar negeri, New York, guna memperluas cakrawalanya. "Saya pilih New York karena penduduk kota itu lebih welcome dengan pendatang dari Asia, tak seperti kota-kota di Eropa. Saya belajar survive di kota tersebut dengan bekerja di perusahaan food," tutur anak kedua dari empat bersaudara itu. Di kota berjuluk Big Apple tersebut, Elisabeth yang sendirian tanpa keluarga belajar betul tentang pentingnya kegigihan agar bisa bertahan hidup. Dia bekerja dan belajar hidup di Negeri Abang Sam.

Setelah dua tahun di New York, dia mulai berpikiran kembali ke Indonesia. "Saya berpikir kenapa saya tidak mencoba berdiri sendiri, mendirikan usaha di bidang food," ujarnya. Tanpa pikir panjang dan ragu, tepat pada 1982 dia mulai merintis usaha di Jakarta, mendirikan Indoguna. Perusahaan rintisannya itu juga membidangi makanan sesuai dengan pengalaman kerjanya. "Tapi tidak persis seperti yang digeluti perusahaan lama di New York," katanya. Dia menyukai bisnis ini karena memang mencintai makanan.

Bisnis ini dimulai ala kadarnya karena tak ada yang memodali, menyewa ruang kerja di Jl. Gajah Mada, Jakarta Pusat. Elisabeth memulainya dengan ditemani empat karyawan yang direkrutnya. Boro-boro bermimpi menjadi pengusaha besar, awalnya hanya berorientasi agar bisa hidup. Salah satu faktor positifnya, ketika itu ekonomi Indonesia cukup booming dan di Jakarta banyak ekspatriat yang berdatangan, khususnya dari Jepang, Prancis dan Korea. Pasti, walau mereka tinggal di Jakarta, kebutuhan dan selera makan mereka tak berubah. Ceruk ini yang dilihat Elisabeth dan kemudian dia mengimpor bahan makanan, khususnya daging, untuk hotel-hotel tempat para ekspat itu menginap.

Kebetulan, ketika itu di Indonesia belum banyak pemain yang menggarap impor daging dan bahan makanan untuk kalangan ekspat. Belum banyak pebisnis yang punya keahlian di bidang itu. "Kalau ada, hanya 1-2 perusahaan," ungkapnya. Dia mendekati calon pelanggan dari pintu ke pintu, berkenalan dan bergaul dengan para chef di hotel-hotel.

Kebetulan juga, waktu itu Hotel Hilton baru berdiri dan membutuhkan daging impor yang empuk yang kualitasnya lebih baik dari daging sapi yang ada di dalam negeri. Hotel tersebut membutuhkan untuk bahan steak, tepanyaki, dan makanan lain yang khusus ditujukan bagi pelanggan Jepang. "Mulailah di situ saya belajar. Saya diajari pemakainya, yaitu para chef di hotel itu. Saya diajari kalau you bawa ke saya daging seperti ini, nantinya jadinya seperti ini, begini hasilnya. Saya juga disuruh coba masakannya," papar Presdir PT Indoguna Utama ini.

Jadi, dia justru belajar dari para chef. Setelah itu, mereka mulai mengorder walau kecil. Dia pun melayani order tersebut walau nilainya hanya kecil (10 kg), sementara perusahaan yang ada saat itu tak mau melayani kuantitas kecil sehingga cenderung mengabaikan. "Kalau saya, tidak melihat jumlahnya, tetapi kebutuhannya dan apa yang bisa disediakan, lalu akan saya usahakan untuk saya bawakan ke mereka. Makanya, mereka senang dan kemudian percaya," katanya. Dari yang awalnya hanya memberi order sedikit, lama-lama memesan semakin banyak karena setiap kali memesan selalu dilayaninya dengan baik.

Prinsipnya, Elisabeth bekerja sembari belajar. Dia bergaul dan belajar dari chef, apa yang dibutuhkan hotel, lalu berusaha menyediakannya. "Waktu itu memulainya kecil-kecil sekali, lalu pelan-pelan berkembang dan meluas. Dari satu hotel ke hotel lain," ungkapnya. Dia tak malu belajar pada para chef, sekaligus memperluas penjualannya.

Dalam berbisnis, Elisabeth berprinsip mengembangkan bisnis mesti sesuai dengan kebutuhan. Pasarnya berkembang karena kebutuhan kliennya juga berkembang. Biasanya setelah tahu apa kebutuhannya, pihaknya lalu berusaha menyediakan. "Sebenarnya kalau memulai bisnis, harus kembali ke pertanyaan ada market-nya atau nggak. Kalau sudah tahu ada market-nya, barulah kita benahi diri kita sendiri agar bisa memenuhi kebutuhan," katanya.

Bukan hanya berusaha memenuhi apa yang dibutuhkan, tetapi juga memegang komitmen dan jujur dalam memberikan pelayanan. Bila sudah menjanjikan produk dengan kualitas A, yang harus di-deliver pun produk dengan kualitas A. Juga, tidak menjual dengan harga di luar kewajaran. "Dengan kejujuran itu, akhirnya para chef itu percaya kepada kami," ungkapnya. Karena prinsip seperti itu, pelanggan Indoguna dari tahun ke tahun berkembang. Sekarang hampir semua hotel berbintang di Jakarta menjadi pelanggannya. Bahkan lebih dari itu, Indoguna mulai merentangkan sayap, mendirikan cabang di beberapa kota seperti Bali, Yogyakarta dan Surabaya. Malah membuka cabang juga di luar negeri. Kok bisa?

Rupanya para chef yang pernah bekerja di Indonesia dan menjadi pelanggan Indoguna tak melupakannya. Ketika pindah tugas ke negara lain, biasanya mereka menghubungi dia. "Mereka menghubungi saya, ‘Elisabeth kenapa you nggak buka di sini. I need you here’," katanya. Melalui cara itu pula, Indoguna kemudian membuka bisnis sejenis di banyak negara: Hong Kong, Singapura, Dubai, Australia, Kazakhstan, Taiwan, Malaysia, AS dan beberapa negara lain. Biasanya setiap membuka cabang, selalu dimulai dari skala kecil dulu, kemudian diperbesar sesuai dengan kebutuhan.

Yang menarik, penetrasi Indoguna di luar negeri tak sekadar sebagai pelengkap. Di Singapura, misalnya, Indoguna (Singapore) Pte. Ltd. termasuk pemasok besar. Di sana Elisabeth juga punya pabrik dan tempat jagal sendiri untuk memasok kebutuhan pasar Negeri Singa.

Khusus di Jakarta, pada 1992 Elisabeth memindahkan pusat bisnisnya dari Jl. Gajah Mada ke daerah Pondok Bambu, Jakarta Timur. Sejak awal dia memang ingin memiliki kantor yang dekat dengan rumah tinggalnya sehingga energinya tak habis karena memikirkan kemacetan di Ibu Kota. Untuk itu, tahun 1992 dia membangun pabrik, cold storage dan kantor dalam satu lokasi, yang luas totalnya kini 25.000 m2. Di dalamnya terdapat mesin cold storage canggih buatan luar negeri untuk menampung produk-produk Indoguna yang siap dipasok ke ratusan pelanggannya di Jakarta. Yang pasti, dulu perusahannya harus dari pintu ke pintu menawarkan produk ke calon pelanggan, sekarang justru calon pelanggan yang datang dan meminta dicarikan produk ini-itu.

Kini, dari total produk yang dipasarkan Indoguna, 95%-nya membutuhkan pendingin sehingga tidak banyak pemain di Indonesia yang mampu melakukanya. Produk andalannya tetap daging (sapi dan sapi muda). "Di dalam negeri sapi muda tidak dipotong, tetapi kalau di luar negeri, sapi muda justru dipotong dan itu harganya lebih mahal," katanya seraya menjelaskan, pihaknya antara lain mengimpor daging dari Australia, AS dan Selandia Baru.

Tentu saja, itu prestasi yang terbilang langka, apalagi di bisnis ini kebanyakan pemainnya kaum pria. Ditanya tentang apa rahasia suksesnya, Elisabeth hanya menandaskan, "Apa yang saya janjikan, saya lakukan. Mesti ada komitmen." Tak hanya itu. "Karena saya sangat suka dengan bidang ini. Saya mencintai ini. Ini mungkin salah satu kunci suksesnya. Kalau Anda menyukai pekerjaan, Anda tidak perlu bekerja lagi untuk hidup karena seakan-akan hanya mainan dan senang-senang," ungkap wanita yang sejak kecil lebih sering bermain dengan anak lelaki itu. Karena menyukai pekerjaan pula, walau ketika awal-awal memulai bisnis butuh perjuangan ekstra, dia tetap bisa melewatinya.

Dalam menjalankan usaha, Elisabeth tidak berangan-angan harus ini harus itu atau mesti menjadi perusahaan besar. Tidak. "Saya memulai dengan kebutuhan pasar. Besaran bisnis saya tumbuh sesuai dengan kebutuhan pasar. Kalau kebutuhan market bertambah, skala usaha saya juga ditambah, termasuk karyawan," katanya. "Saya membiarkan diri dibesarkan oleh market. Jadi bukan saya mencetak perusahaan ini, tetapi perusahaan yang mencetak saya. Jadi, saya yang menyesuaikan diri dengan kondisi dan kebutuhan."

Bob Sadino, pengusaha pemilik Kemang Food Industry (Kem Chicks) mengakui Elisabeth Liman merupakan sosok wanita pengusaha yang tangguh. "Dia pengusaha yang bukan saja sangat gigih, tetapi memang luar biasa. Tidak banyak perempuan yang bisa melakukannya," kata Bob yang kenal Elisabeth sejak 1980-an. Menurutnya, Elisabeth merupakan pengusaha yang sangat mengerti arti melayani pelanggan sehingga ke mana pun pelanggannya memesan produk, dia akan berusaha memenuhi.

Sementara itu, Arya Abdi, Direktur Operasional PT Indoguna Utama, menggambarkan bosnya sebagai wanita yang sangat aktif. "Aktif sekali. Beliau seperti bukan perempuan. Apa pun yang belau inginkan, selalu berprinsip 'harus bisa, pasti bisa'. Beliau sangat gigih dalam menghadapi setiap masalah dan cepat dalam mengambil tindakan. Dan dalam memimpin dia selalu memacu anak buah supaya bisa menjadi seorang pemimpin," katanya. Arya yang memimpin bisnis Indoguna untuk wilayah Indonesia biasanya melakukan meeting dengan Elisabeth sebulan sekali. "Waktu beliau lebih banyak digunakan untuk mengurusi bisnisnya di banyak negara. Jadi, selalu terbang."

Elisabeth masih akan fokus di bisnis makanan. Ini sesuai dengan positioning perusahaannya sebagai food specialist. Dia tak ingin masuk di bisnis penggemukan sapi, misalnya, karena masih ingin fokus di pemasarannya. Namun, dia punya bisnis resto yang menurutnya hanya sambilan, yakni Angus House yang kini punya 6 gerai (dua di luar negeri). Resto ini awalnya didirikan hanya untuk membantu seorang kawannya, ekspat Jepang yang kontrak kerjanya di salah satu hotel Indonesia habis. Mereka berkongsi membangun bisnis resto, dan ternyata bisnis ini pun berkembang.

Dalam mengembangkan bisnis bersama siapa pun, Elisabeth selalu memegang prinsip: mesti win-win. Ini diberlakukannya baik kepada pelanggan, mitra bisnis maupun karyawannya sendiri. Untuk itu, mengetahui dan berusaha memenuhi kebutuhan orang lain merupakan hal sangat penting. Baginya, semua manusia punya kebutuhan. “Kita harus memperhatikan mereka. Dengan karyawan juga demikian. Kalau enak dan untung diambil sendiri, ya karyawan nggak betah!" katanya.

Dengan menjalankan prinsip itu, tingkat loyalitas karyawan Indoguna pun tinggi. Empat karyawannya yang ikut kerja sejak awal, semua masih bertahan -- kecuali satu orang karena telah meninggal dunia. "We care for them. Saya perlakukan mereka sebagai manusia. Mereka dibayar gaji cukup sesuai dengan kealian mereka. Kalau mereka mau tinggal di sini lama, berarti mereka cukup, kan?" ungkapnya retoris.

Salah satu bentuk kepedulian itu misalnya tampak saat krisis moneter 1998. Ketika itu dia menyuruh pembantu di rumahnya untuk pergi ke kantor Indoguna dan memasak bagi karyawan supaya uang saku karyawan tidak berkurang. Anggaran masak itu diambil dari gaji pribadi Elisabeth. Dengan cara itu, uang makan karyawan utuh. Selain itu, gaji juga dinaikkan supaya kehidupan mereka tak tersendat. "Nggak tahunya setelah krisis selesai, sampai sekarang ransum masih jalan terus," katanya seraya tertawa. Namun, itu tak masalah buat Elisabeth. Dia berprinsip, kalau dirinya baik kepada seseorang, orang lain pun akan memperlakukannya dengan baik.



Sentuhan Midas Andrew Santoso di Bisnis Resto





Hobi makan tak selalu jelek. Buktinya, dari hobi makan ini, Andrew Santoso menjadi wirausaha wan sukses di bisnis restoran. Kini, Andrew memiliki dan mengelola resto Mangkok Putih  yang sudah punya banyak cabang, serta punya  boutique food court di Senayan City bernama Urban Kitchen. Juga mendirikan resto yang happening seperti  LOEWY Gastropub, Meja Kitchen, Pepin &Malloy Hot Dogs, Miura Pintxos Bar & Grill, Miura Pintxos Bar, Embassy, Score, Portico, dan Domain.


Kiprah Andrew di bisnis resto tak lepas dari masa lalunya ketika kuliah di Jurusan Pemasaran Bentley College, Boston, Massachussets, Amerika Serikat. Di sana ia yang gemar makan kerap mengunjungi China town untuk menikmati berbagai menu, khususnya mi. Segala macam bakmi dari Asia, termasuk bakmi Vietnam dan Thailand, disantapnya. Setelah kembali ke Indonesia, ia melihat bakmi hampir seragam. Maka, ia memulai bisnis resto dengan mengembangkan resto Mangkok Putih yang konsepnya menyediakan bakmi dari berbagai negara, terutama Asia. “Yang kami tonjolkan dalam branding bukan bakminya, tapi Mangkok Putih, agar tidak head-to-head dengan merek-merek bakmi lain,” Andrew menjelaskan kiatnya.

Resto Mangkok Putih pertama dibuka di daerah Mendawai, Kebayoran, dengan luas 70 m2. Desain interior Mangkok Putih menganut jenis noddle bar. Ada beberapa bar dalam satu resto yang masing-masing pemasaknya berbeda. Ada bar untuk bakmi goreng, rebus, kukus, dan lain-lain. “Resep pengolahan kebanyakan dari ibu saya. Idenya kami ambil dari buku-buku resep, lalu kami olah agar pas dengan lidah orang Indonesia” kata Andrew seraya menjelaskan, ibunya jago masak. Jenis bakmi yang terkenal di Mangkok Putih antara lain bakmi bebek panggang, bakmi telur, bakmi Thailand, kwetiau, bakmi ijo, dan udon. Selain itu, juga ada menu yang lebih umum, seperti nasi goreng.

Diakui Andrew yang pernah menjadi pramusaji di Boston, Mangkok Putih tak direncanakan berekspansi terlalu kencang dengan pola waralaba karena awalnya memang merupakan bisnis keluarga. Manajemen ditangani Andrew dan adiknya, Anita Santoso. Modal awal Mangkok Putih sepenuhnya dari orang tuanya, sebesar Rp 50 juta untuk gerai pertama pada 2001. Kemudian tiap tahun rata-rata menambah satu gerai baru – lebih luas dan investasinya lebih banyak, Rp 200 juta/gerai. Kini Andrew mengelola 6 cabang Mangkok Putih yang semuanya berlokasi di Jakarta.

Setelah merasa mantap berbisnis resto, Andrew tertarik mengembangkan konsep resto baru hingga kemudian lahirlah Urban Kitchen (UK) di Senayan City lantai 5. Sebelumnya ia melihat, pilihan resto di Jakarta banyak, tapi kadang membingungkan para penikmat untuk memilihnya. “Dengan Urban Kitchen, semua pilihan menjadi jelas karena tiap pengunjung bisa memilih langsung hidangan yang hendak mereka santap,” ujarnya bernada promosi.

Berbeda dari Mangkok Putih yang dimiliki penuh keluarganya, UK didirikan 8 investor, termasuk Andrew. Tujuh investor lainnya merupakan kolega Andrew. UK berkonsep boutique food court. Pihaknya menyewa area seluas 1.500 m2, lalu ditawarkan ke kalangan pemilik resto untuk buka gerai bersama-sama di dalamnya. Andrew mengklaim UK merupakan satu-satunya di Indonesia. UK menawarkan berbagai makanan dengan harga bervariasi, Rp 20-90 ribu.

Desain interior UK terbagi dalam empat konsep, yaitu ethnic Asian, modern European, indoor terrace dengan lokasi outdoor, dan library cafĂ© dengan sofa dan kursi yang cozy serta atmosfer yang nyaman. Sebenarnya, ide membangun UK sudah ada tiga tahun silam, tapi kesiapan konsep, lokasi dan mental memang baru datang belakangan. “Kami harus cari tempat yang tidak hanya luas, tapi pengelola malnya harus satu visi,” ujar Andrew yang melihat Senayan City cocok dengan target pasar UK. “Kami menyewa dalam durasi lima tahun, dengan harga sewa Rp 600 ribu/m2/bulan.”

Untuk pengisi tempat (tenant), pihaknya mencari yang punya ciri khas sehingga bisa mewakili masakan asal negara tertentu. “Saya cobain resto satu per satu, mana yang kira-kira bisa cocok dengan daerah Senayan City, lalu kami datangi satu per satu dan kami tawarkan konsepnya,” kata Andrew. Menurutnya, para tenant tak perlu modal besar. Istilahnya, tinggal bawa alat dapur saja. Bentuk kerja sama dengan tenant adalah kontrak sewa tempat selama lima tahun plus bagi hasil. Masing-masing tenant diberi tempat dengan luas sama, 30 m2.

Kini, berkapasitas 450 tempat duduk, UK menampung 12 gerai resto terkemuka yang menawarkan beragam masakan. Mulai dari masakan Indonesia (Nasi Liwet Keprabon, Mangkok Putih, Woku-Woku dan Savoy), masakan Cina (My Kitchen), masakan Barat (Hot Pepper), masakan Italia (La Scala), masakan Malaysia (Little Penang), masakan Thailand (Sup-Sip), masakan Korea (Kung), sampai masakan Jepang (Sushi Groove). Selain itu, ada tiga bar di dalam UK, yaitu beverage bar, chocolate bar (Chocolate) dan coffe bar (Brew&Co). Masing-masing gerai di UK berkonsep open kitchen yang memungkinkan pengunjung melihat langsung proses pengerjaan makanan yang dipesan.

Linda Krisno, pemilik resto Hot Pepper -- salah satu tenant UK -- mengaku dari awal langsung tertarik melihat rencana Andrew dkk. membuat UK. “Saya yakin akan berhasil,” kata Linda yang juga pemegang waralaba resto Chillie's dari AS. Dalam tiga bulan ini, ia cukup puas dengan kinerja gerai Hot Peppernya. Jangan heran, ia berencana menambah gerai lagi kalau UK buka cabang baru.

Hal senada dikemukakan Theo Widjaja, salah satu pemilik Sushi Groove yang membuka gerai ke-6 di UK. Berhubung sudah mengenal Andrew dkk., Theo pun bersedia ketika ditawari bergabung di UK. “Secara konsep dan prospek kami melihatnya cukup bagus. Konsepnya baru di Indonesia,” ungkap wirausaha resto yang sukses itu.

Andrew yakin, UK akan terus berkembang. Kini pengunjung UK saat hari kerja rata-rata 700 orang/hari dan 1.000-1.200 orang saat akhir pekan. Kebanyakan pengunjungnya kalangan profesional muda saat hari kerja, dan pada waktu akhir pekan kebanyakan keluarga. Ia menargetkan per hari UK dikunjungi 1.500 orang dan mencapai breakeven point dalam tiga tahun. Untuk itu, pihaknya terus menggenjot langkah pemasaran, di antaranya melakukan cobranding dengan penerbit kartu kredit (Citibank dan Bank Mandiri), membuat program acara untuk komunitas ibu-ibu arisan, dan mengadakan gathering. Tentunya, juga terus mengandalkan promosi word of mouth dari jaringan kawan dan mitra bisnisnya. Ke depan, UK mencoba merambah mal-mal lain di Jakarta, dengan harapan tiap tahun tambah satu lokasi.

Urban Kitchen selalu mengambil lokasi yang premium. Misalnya anda bisa berkunjung ke Urban Kitchen Pacific Place. Saat memasuki boutique food court ini, pengunjung disambut lampu neon besar bertuliskan inisial Urban Kitchen yang terlekat di dinding. Urban Kitchen Pacific Place tampil baru. Urban Kitchen Pacific Place saat ini memiliki kapasitas 550 tempat duduk. Untuk kartu transaksi, Urban Kitchen menggunakan sistem kartu dianggap lebih mudah dan higienis dibandingkan harus membayar langsung dengan uang di tiap counter.

Untuk menu makanan, kini Urban Kitchen memiliki dua dapur utama yaitu Waroeng 100 Hari dan Internasional. Kehadiran Waroeng 100 Hari menjadi bentuk perayaan kekayaan dan kelezatan kuliner Indonesia. Berbagai makanan Indonesia populer dijual di Waroeng 100 Hari yang mengusung konsep kuliner temporer. Tak hanya makanan berat, disini juga ada Kios Tjemtjeman yang menyediakan bermacam camilan dan seruputan tradisional. Roti bakar selai lobi-lobi, pisang penyet, ketan susu duren, teh poci pantura, dan wedang uwuh menjadi bagian dari menu Kios Tjemtjeman.

Andrew pun belakangan terus tak berhenti berkreasi dengan mendirikan brand-brand resto baru yang happening. Bersama mitra-mitra bisnisnya, ia juga mendirikan LOEWY Gastropub, Embassy, Score, Portico, dan Domain, Meja Kitchen & Bar, Pepin & Malloy Hot Dogs, Miura Pintxos Grill, dll. Masing-masing mengusung konsep resto yang berbeda. Berbisnis resto tak lepas dari kemampuan membaca tren dan melakukan inovasi, hal itu yang akan terus dipegang oleh Amdrew. "Industri F&B  bergerak dengan cepat. Kami berinovasi agar  sesuai dengan perkembangan tren di Jakarta," tutur Andrew Santoso berprinsip.





Sukses Bisnis Resto ala Obonk Steak




Daripada menjadi ekor naga, lebih baik menjadi kepala ular. Filosofi ini yang mendasari keputusan Sugondo menggelindingkan usaha sendiri. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara, Jakarta, ini sebelumnya sempat berkarier di beberapa perusahaan, termasuk sebagai bankir di Bank Majapahit. Namun ia memilih mendirikan usaha sendiri di bisnis resto. Setelah beberapa kali gagal, Sugondo dan keluarganya sukses mengembangkan jaringan bisnis resto khusus steak. Gerainya tersebar di berbagai kota besar.  Keputusan Sugondo berwirausaha terbukti tak salah. Dibantu anak-anaknya, ia sukses mengembangkan bisnis restotan steak. Malah, tak berlebihan bila kini ia dijuluki si Raja Resto Steak. Pasalnya, jumlah gerai resto steak yang ia kelola bersama anak-anaknya mencapai lebih dari 60, yang tersebar di berbagai kota besar. Usaha resto steak keluarganya kini dikonsolidasi dalam bendera Obonk Steak Group. Maklum, selain mengembangkan gerai resto Obonk Steak, Sugondo juga punya Waroeng Steak, Kampoeng Steak dan Spiring Resto.

Bagi Sugondo, bisnis resto steak merupakan klimaks dari pengembaraannya mencari peluang bisnis yang paling pas buat dirinya. Ya, perjalanan karier dan kewirausahaannya cukup berliku. Ia pernah lama tinggal di Jakarta, karena memang bercita-cita bisa meraih sukses di kota metropolitan ini. Tak mengherankan, begitu lulus dari Untar pada 1970-an, ia langsung bekerja di Bank Majapahit. Ia sempat berkarier tujuh tahun di bank swasta ini. Lepas dari bank itu, ia gonta-ganti pekerjaan, hingga akhirnya memutuskan mendirikan perusahaan jasa konstruksi, PT Trindo Bahana Sarana. Namun, bisnis ini hanya dilakoninya selama lima tahun.

Karena merasa bisnisnya tak bisa berkembang di Jakarta, pada 1986 ia menutup perusahaannya itu dan memilih hijrah ke kota istrinya, Solo. Di kota ini, suami Ninik Mulyani ini mencoba mengembangkan bisnis garmen dengan memproduksi pakaian wanita. Untuk mendukungnya, ia pun membuka butik yang diberi nama Jasmine Fashion. Selain itu, karena melihat ada peluang empuk, Sugondo juga menggarap bisnis hiburan malam dengan membuka diskotek. Hanya dalam setahun, tiga diskotek didirikannya di kota keraton itu: Freedom, Nirwana dan Solo Diskotik. Cerdiknya, untuk mendirikan ketiga distotek tersebut, ia tak mengeluarkan modal sedikit pun karena menggandeng orang lain yang punya uang. “Saya merasa beruntung pernah tinggal lama di Jakarta sehingga hanya menjual ide dan mendapatkan 10% saham,” katanya.

Namun, pada tahun 2000 ia memutuskan menjual semua bisnis hiburan tersebut. Alasannya, tak sesuai dengan hati nuraninya. Ia mengaku, awalnya ingin mengembangkan konsep rumah musik yang sehat, bebas dari minuman beralkohol. Namun dalam perjalanannya, ia tak bisa mengontrol. “Rasanya sekarang sudah plong, karena tidak punya beban lagi,” katanya lepas.

Selain diskotek, kala itu ia juga mendirikan resto & pub untuk kalangan menengah kota Solo, bernama Aquarius. Di sinilah ia seperti mulai menemukan arah untuk pengembangan bisnisnya, yang ternyata kelak mengubah kehidupan keluarganya. Di resto Aquarius, steak menjadi menu andalan karena banyak penggemarnya walau harganya terbilang mahal. Naluri bisnis Sugondo muncul. Ia menemukan ide berekspansi dengan mengembangkan resto khusus steak. Hanya saja, ia ingin membuat steak dengan harga lebih terjangkau agar penjualannya makin bagus. Pendeknya, ia ingin menjadikan steak makanan yang digemari masyarakat dan terjangkau kantong mereka. “Kalau bisa murah, kenapa harus mahal!” serunya.

Pada pertengahan 1990-an itulah, Sugondo mendirikan resto khusus steak. Bapak empat anak ini terus mencari ramuan yang pas, agar makanan Barat ini bisa diterima lidah orang Indonesia dan dijual dengan harga yang terjangkau masyarakat luas. Karena itu, juga ia memperkenalkan slogan citra “Menu bintang lima, harga kaki lima”. Kalau di kebanyakan resto seporsi steak dijual sampai Rp 75 ribu, Sugondo bisa menjual jauh lebih murah. “Di restoran atau hotel memang mahal, karena banyak komponen biaya yang harus kita tanggung,” ungkapnya. “Tapi, meskipun kami jual murah, keuntungan sudah lumayan.”

Resto steak yang didirikannya pertama kali bernama Casper Steak. Namun, antara harapan dan kenyataan masih belum ketemu. Casper Steak bisa disebut gagal menarik konsumen seperti yang diharapkan. Ia pun terpaksa menutup restonya yang baru seumur jagung. “Di kalangan masyarakat awam, kayaknya masih melekat image yang kuat bahwa steak adalah makanan mahal dan khusus buat orang berduit,” tutur lelaki yang sekarang selalu berkopiah ini.

Meski Casper Steak yang dibukanya di Solo gagal, Sugondo tak putus asa. Pada tahun yang sama, ia mencoba menggapai keberuntungan di Yogyakarta. Kali ini, konsep yang ia jual agak berbeda. Ia menawarkan konsep kafe, dengan menu utama steak. Meski berlokasi di Yogya -- tepatnya di kawasan Pasar Kembang, dekat Malioboro -- ia memberi nama resto/kafe steak-nya Kafe Solo. Sasaran yang ingin digaet memang wisatawan asing yang sering kongko di tempat itu.

Namun, lagi-lagi Sugondo harus menelan pil pahit. Nasib Kafe Solo tak lebih bagus daripada Casper Steak, sehingga juga terpaksa ditutup karena kurang direspons konsumen. Wisatawan asing yang diharapkan datang, ternyata tak melirik sama sekali. Wisatawan atau konsumen lokal pun enggan masuk. “Kami gagal karena salah konsep dan salah membidik konsumen,” kata Sugondo menyimpulkan. Menurutnya, ia menghabiskan dana lumayan besar ketika mendirikan Kafe Solo. Namun lagi-lagi, hal ini tak membuatnya patah arang. Semangat membuka resto steak terus membara. Hanya saja, karena keterbatasan dana, ia merasa harus mengubah strategi bisnisnya.

Setelah gagal dengan dua resto steak-nya tadi, Sugondo lalu mendirikan Obonk Steak. Namun, jangan dibayangkan sama dengan dua resto sebelumnya. Pasalnya, Obonk Steak tak menempati bangunan yang representatif, hanya menumpang di emperan butik Jasmine Fashion di depan Samsat Yogya. Ini dilakukan karena ia sama sekali tidak memiliki dana untuk sewa toko/rumah. Namun tanpa diduga sebelumnya, Obonk Steak justru dibanjiri konsumen.

Ia pun mulai menangani upaya pemasaran secara serius. Otak bisnisnya kembali menggagas inovasi. Untuk mengedukasi pasar, ia menyebar leaflet. Ternyata, cara ini cukup efektif. Pelan tapi pasti, konsumen terus berdatangan. “Dalam waktu tiga bulan, kami sudah bisa menutup biaya operasional, sesuai dengan target kami,” katanya bangga.

Karena perkembangan Obonk Steak yang begitu menggembirakan, tak sampai setahun kemudian, tepatnya pada 1995, ia membuka cabang di Solo, bekerja sama dengan adik iparnya. Dengan strategi pemasaran yang sama seperti yang dikembangkan di Yogya, cabang di Solo juga mengalami pertumbuhan bagus.

Sejak awal, Obonk Steak dirancang untuk membidik pasar menengah-atas. Hanya saja, harga yang ditawarkan jauh lebih murah dibandingkan dengan steak yang dijual di resto atau hotel umumnya. Kendati begitu, menunya yang disediakan cukup beraneka: ribs, tenderloin, black pepper, tender pepper, T-bone, gindara, cumi, hot tuna, dan lain-lain. Selain itu, juga dilengkapi dengan aneka pasta, sup, salad sayuran, aneka minuman jus, es krim, soft drink dan hot drink. Bahan utama steak, yakni daging, disediakan dua jenis: lokal dan impor. Konsumen tinggal pilih sesuai dengan selera dan kemampuan kantongnya. Untuk lokal, steak dijual Rp 18-24 ribu/porsi, sedangkan steak daging impor Rp 23-46 ribu/porsi.

Dengan konsep seperti itu, Sugondo berhasil mengembangkan bisnis resto steak-nya. Ia pun sukses membimbing keempat anaknya mengembangkan bisnis yang sama. Waroeng Steak, Kampoeng Steak dan Spiring Resto, adalah nama-nama resto steak yang dikembangkan anak-anak Sugondo. “Mereka tampaknya sudah enjoy jadi pengusaha,” katanya.

Terhitung sejak tiga tahun lalu, Sugondo tak lagi terlibat langsung dalam bisnis resto tersebut. Namun, bukan berarti ia lepas tanggung jawab sama sekali. “Tugas saya hanya sebagai konsultan dan motivator, selain itu juga menandatangani kontrak kerja sama dengan pihak lain. Anak-anak yang mengelola, saya bosnya,” ujar lelaki kelahiran Surabaya ini sambil tertawa lepas. Obonk Steak memang jadi training ground anak-anak Sugondo dalam menjalankan bisnis ini. Sekarang, pengelolaan resto ini telah diserahkannya kepada mereka.

Dari hasil pernikahannya dengan Nanik Mulyati, Sugondo dikaruniai empat anak: Jody Brotoseno, Jonet Herjuno, Joyce Silawati dan Jarot Jatmiko. Dari keempat anak itu, yang ke-2, 3 dan 4, diserahi tugas memegang kendali Obonk Steak. Sementara Jody, alumni Arsitektur Atma Jaya, Yogya, sejak 2002 punya bisnis steak sendiri dengan bendera Waroeng Steak. Jumlah gerainya cukup banyak, kejar-kejaran dengan Obonk Steak. “Sebelum buka Waroeng Steak, saya banyak belajar dari Bapak dalam mengelola Obonk Steak,” kata Jody.

Dalam pengelolaan Obonk Steak, dilakukan pembagian tanggung jawab di antara anak-anak Sugondo. Permbagiannya per wilayah. Jonet mengelola gerai Obonk Steak di Jawa Timur (Surabaya, Malang) dan Bali (Denpasar). Alumni Akademi Uang dan Bank ini sekarang tinggal di kota kelahiran bapaknya, Surabaya. Joyce, putri satu-satunya, tinggal di Solo, kebagian tugas mengelola Obonk Steak wilayah Jawa Tengah dan DI Yogya. Mahasiswi Publisistik Universitas Negeri Sebelas Maret Solo ini juga bertanggung jawab atas kelangsungan bisnis garmen Jasmine Fashion yang didirikan orang tuanya di kotanya pencipta lagu Bengawan Solo, Gesang, itu. Adapun si bungsu, Jarot, semenjak duduk di bangku SMA di Jakarta sudah dipercaya mengelola Obonk Steak di sekitar Jabotabek dan Jawa Barat. Yang menarik, jumlah gerai di wilayah pengawasan Jarot cukup banyak karena ada di beberapa kawasan, seperti di Cinere, Bogor, Depok, Buaran dan Jatiwaringin.

Selain menginspirasi anak-anaknya berbisnis, selama ini Sugondo juga telah banyak memberikan lapangan pekerjaan bagi keluarga besarnya dengan melibatkan mereka sebagai manajer gerai. Contohnya, Abiyan T.H. yang menjadi manajer Obonk Steak di Jogya, adalah adik kandung istri Sugondo. Jika tidak ada keluarga, mereka menyerahkan pekerjaan kepada orang luar yang dipercaya. “Kebanyakan yang menjabat sebagai manajer memang masih keluarga sendiri,” ujar Abiyan. Namun, untuk tertib administrasi dan manajemen, setiap manajer di gerai dibantu tiga kepala bagian: keuangan, belanja dan stok barang. Masing-masing memiliki tanggung jawab sendiri yang tidak boleh dirangkap. ”Tujuannya untuk mengantisipasi kebocoran karena yang pegang uang tidak boleh belanja sendiri, sedangkan yang bertugas mengontrol persediaan stok barang juga ada bagian sendiri,” tutur Sugondo.

“Virus” wirausaha tampaknya makin kuat di tubuh keluarga Sugondo. Setelah Jody sukses dengan Waroeng Steak, sang adik juga berusaha mengikuti jejaknya. Belakangan Joyce membuka Spiring Cafe. Sementara Jonet yang ada di Surabaya, mengibarkan bendera Kampoeng Steak tiga tahun lalu. Jumlah gerai Kampoeng Steak baru 9, tersebar di Ja-Teng dan Ja-Tim.

Tidakkah mereka khawatir akan saling berebut konsumen? Rupanya, untuk mencegah munculnya persaingan yang tidak sehat, sudah ada kesepakatan antara Jody dan adik-adiknya untuk tidak saling mengganggu pasar masing-masing. Jody dengan Waroeng Steaknya yang sudah mapan agaknya cukup rela memberi ruang gerak kepada adik-adiknya untuk berkembang. Misalnya, ia tidak akan membuka cabang di kota yang lebih dulu dimasuki Kampoeng Steak. “Mereka bikin kesepakatan sendiri, saya tidak campur tangan,” ucap Sugondo soal pembagian wilayah bisnis anak-anaknya.

Menurut Sugondo, di antara gerai resto steak yang dikelola keluarganya, yang berpotensi bersaing adalah Waroeng Steak dan Kampoeng Steak. Sebab, kedua resto ini memilik konsep yang sama: membidik pasar menengah dengan harga relatif terjangkau. Adapun Obonk Steak diposisikan untuk pasar menengah-atas. “Kalau Obonk ketemu Waroeng atau Kampoeng, tidak masalah,“ Sugondo menandaskan.

Soal pengembangan usaha, awalnya Sugondo lebih banyak mengembangkan cabang dengan mengajak berkongsi keluarga dekat, termasuk anak-anaknya. Sejak 2004, ia mengajak pemilik modal lain untuk bergabung menjadi mitra. Ia juga telah mengembangkan model waralaba (franchise). Saat ini ada tiga cabang yang dikembangkan dengan cara waralaba, salah satunya di Batam. Kini untuk mendapatkan hak waralaba Obonk Steak, cukup disediakan modal Rp 75 juta. Dana ini untuk franchise fee Rp 50 juta, dan untuk penyediaan peralatan Rp 25 juta.

Selain warabala, tidak sedikit juga yang hanya sekadar urun modal lalu menerima keuntungan bersih setiap bulan. Ada pula yang menyediakan tempat dan peralatan lengkap. “Kami cukup buat perjanjian di notaris saja, berapa modal yang ditanam dan berapa keuntungan yang dibagikan. Yang jelas, keuntungan yang didapat di atas bunga bank,” kata Sugondo menjamin. Dengan model pengembangan seperti itu, kini Obonk Steak telah merambah berbagai provinsi, antara lain Ja-Teng, DI Yogya, DKI Jakarta, Ja-Bar, Ja-Tim, Bali, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Hingga September lalu, total cabang Obonk ada 28. “Tahun ini, kami berencana membuka empat cabang lagi di Jakarta, Yogya, Bogor dan Makassar.”

Diakui Sugondo, untuk membuka setiap cabang, ia membutuhkan modal yang lumayan besar. Apalagi, jika harus mengontrak rumah. Namun, bisnis ini ternyata cukup menarik investor karena sejauh ini cepat baik modal. Ia mengklaim rata-rata dalam tempo 7 bulan modal yang ditanam sudah balik. Namun ia mengakui, ada beberapa cabang yang harus ditutup dan pindah tempat karena tidak bisa berkembang dengan baik. ”Biasanya karena kesalahan memilih tempat,” katanya menganalisis. Masih menurut Sugondo, gerai dikatakan baik bila setiap bulan bisa mendatangkan omset Rp 100-200 juta. Biasanya kalau ada gerai yang tiap bulan hanya menghasilkan omset tertinggi Rp 50 juta, pihaknya akan memberikan perhatian khusus ke gerai tersebut. Kini sebagian besar gerainya menghasilkan omset di atas Rp 100 juta.

Sugondo punya patokan sendiri untuk melihat prospek sebuah gerai. Ia selalu melihat dalam jangka tiga bulan. Kalau tiga bulan pertama bagus, bisa dilanjutkan untuk dikembangkan. Namun kalau kurang menggembirakan, lebih baik ditutup saja. Ini kepercayaan yang didasarkan pada pengalamannya. Maka, bila pada bulan awal sepi, ia tidak mau melanjutkan pengembangan gerai. Itulah pula alasannya menutup dua bisnis resto pertamanya di Yogya sebelum menggarap Obonk Steak. “Daripada menanggung beban operasional, kita banting setir lagi saja dari awal,” Sugondo menekankan keyakinannya.

Sekarang, Sugondo mengaku puas melihat perkembangan Obonk Steak. Apalagi, anak-anaknya pun sukses mengibarkan resto sendiri. Namun, yang lebih membuatnya terharu adalah kala ia mampu memberikan lapangan kerja bagi orang lain. Saat ini gerai Obonk Steak saja menyerap sedikitnya 750 tenaga kerja. Waroeng Steak mempekerjakan ratusan karyawan. Mungkin saja, Kampoeng Steak dan Spiring Cafe akan menyusul keberhasilan kedua resto steak tersebut. *

 Penulis: Sudarmadi



Kisah bisnis menarik lainnya:

Kisah Sukses Dramatik Masri Nur, Pengusaha Ulet Pendiri Hotel Syariah Pertama di Medan 

Pasangan Ini Sukses Membangun Jaringan Resto Takigawa

Kisah Sukses Pendiri Red Bean Resto

Kiprah Lima Sekawan Besarkan Bisnis Pendidikan BSI

Robin Wibowo dan Bisnis Furniture Mewah Veranda

Mengelola Bisnis Kampus Ala UGM

Rahasia Sukses dan Strategi Pemasaran Wim Cycle

Teladan Kepemimpinan Di Balik Kebangkitan Perusahaan Tekstil Gistex

Strategi Sukses DataOn Memasarkan Aplikasi HR

Headline

10 reasons why Indian so success in global career and business

Indians have been successful in global careers and businesses for a variety of reasons. Here are 10 factors that contribute to their success...