Thursday, December 12, 2019

Satoria Group, Sayap Bisnis Baru Alim Satria



Lama tak terdengar kabarnya, mantan pentolan dan pemegang Group Maspion, Alim Satria, ternyata kini mengembangkan group bisnis sendiri. Group baru tersebut dinamai Satoria Group yang bergerak di bidang hospitality, property, manufacturing, entertainment, trading dan services.  Setelah pisah dan menjual sahamnya di Group Maspion yang didirikan ayahya, ia langsung fokus menggenjot bsinis sendiri. Kini bisnisnya yang sudah berjalan antara lain pengembang perumahan, mal, industrial estates dan mixed development building. Bahkan juga sudah mengembangkan beberapa industri manufaktur baru.


Tampaknya tak sulit dengan pengalaman dan reputasinya bagi Alim Satria untuk membesut bisnis sendiri, di luar dari Group Maspion yang kini dipimpin kakaknya, Alim Markus. Alim Satria sudah banyak makan garam dalam pengelolaan bisnis. Mantan co-owner dan Managing Director Maspion Group (1976 – 2013) ini ikut membantu Maspion Group dalam membesarkan PT. Siam Maspion Terminal, Maspion LPG storage tank, Maspion Square Mall, Singapore National Academy International School dan PT Alumindo Tbk. Setelah reda keributan pemberitaan soal penjualan tanah, Alim Satria tampaknya memilih mundur dari Maspion Group dan menjual sahamnya Maspion Group yang didirikan Alim Husin sejak 1971 tersebut.

"Setelah permasalahan berlalu, maka saya dan keluarga saya memutuskan mengakhiri karir saya di Maspion Grup dan menjual seluruh saham saya yang ada pada Maspion Grup, dan mulai merintis bisnis saya sendiri bersama Istri dan anak-anak saya tercinta dengan mendirikan SATORIA GROUP, perusahaan yang bergerak dalam bidang sektor Properti, Industri, Perhotelan, Trading dan Jasa," ungkap Alim Satria dalam sebuah release-nya.

Alim Satria yang kini merupakan shareholder dan President Director Trillium Office and Residence ini terus ekspansi di bisnis-bisnis yang mulai dikembangkannya. Di bisnis properti, antara lain Satoria Group mengembangkan mall CITY MARK SATORIA di Makassar, lalu SATORIA HOTEL, sebuah hotel bintang 4 di Jl. Adisucipto KM 8, Sleman, Yogyakarta. Juga membangun gedung tower perkantoran Satoria Tower di Surabaya.

Bahkan Satoria Group juga sudah mengembangkan sayap bisnisnya di bidang manufaktur dengan mendirikan dua pabrik baru, Satoria Pharma dan Satoria Agro dan di Desa Sambisirah, Kecamatan Wonorejo Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Group ini masuk di bisnis farmasi karena melihat kebutuhan cairan infus di dalam negeri yang mencapai lebih dari 150 juta botol per tahun. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkatkan seiring dengan program pemerintah dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat melalui pelayanan BPJS. Satoria Group melihat adanya kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan cairan infus sebagai peluang bisnis dengan mendirikan pabrik Satoria Pharma.  Untuk tahap awal, pabrik Satoria Pharma akan memproduksi cairan infus 50 juta botol per tahun, namun kedepan akan dikembangkan menjadid total kapasitas pabrik 110 juta botol per tahun.
Di bisnis agro, Satoria Agro memproduksi sweetener, creamer dan faarmer beserta turunannya. Saat ini, pabrik memiliki kapasitas produksi untuk sweetener sebesar 50.000 ton per tahun, sedangkan untuk creamer dan farmer sebesar 15.000 ton per tahun. Produk ini menyasar pasar dalam negeri. Kedepan, perushaan ini juga akan melakukan pengembangan produk khusus yang memberikan nilai tambah dan diminati pasar.

Yang pasti, menarik menyimak prinsip Alim Satria, "meskipun saya telah meninggalkan Maspion Grup, namun Family is Family, keluarga tetaplah keluarga. Saya dan keluarga tetap menjalin hubungan baik dengan dengan Maspion Grup, karena dari sanalah saya ditempa belajar kehidupan dan berusaha keras menjadi pelaku usaha yang sukses hingga saat ini".  Tentu saja menarik kiprah bisnis Satoria Group ini kedepan dan menarik disimak akan seberapa cepat Alim Satria dan anak-anaknya memacu laju bisnis Satoria Group.

Sudarmadi
(HP 081 384 160 988)

Thursday, December 5, 2019

Software Codemi, Zaki Falimbany Mengembangannya Menjadi LMS Berbasis SaaS


Ketatnya persaingan tak menyiutkan nyali Zaki Falimbany untuk mengembangkan bisnis penyedia jasa learning management system (LMS). Sejak 2014 lalu, Zaki mulai merintis bisnis software pembelajaran yang diberi nama Codemi, dijalankan dengan sistim cloud. Ternyata optimismenya tak bertepuk sebelah tangan. Pengguna sofware berbasis SaaS ini terus bertumbuh cepat dan kini sudah mencapai lebih dari 2 juta user. Sederet perusahaan besar berhasil digaet menjadi pelanggan PT Codemi Global yang dibangun Zaki yang kini memperkerjakan 30-an karyawan ini.


Zaki yang kelahiran Palembang, 22 Januari 1986 ini memang punya latarbelakang pendidikan bidang TI. Ia sempat merasakan kuliah di Jurusan Teknik Informatika AMIKOM Yogyakarta, namun tidak sampai lulus. Pada semester-semester akhir, tugas skripsinya terbengkalai karena ia sudah coba-coba berbisnis. Ia sempat kerja part time, juga pernah juga mencoba membuka usaha clothing. Lalu ia juga membuka bisnis software house (SH). Software house ini rupanya jalan dan pada 2010, karena banyak permintaan di Jakarta, akhirnya ia memindahkan usaha ke Jakarta.

Di Jakarta, tahun 2013 ia sempat bertemu dan dimentori tim Founder Institute guna mengembangkan startup Codemi ini. Tapi apa daya, Zaki kemudian berbeda pandangan dengan para mentornya di Founder Institute. Waktu itu semua mentor tidak setuju dengan model bisnis "menjual konten software" alias aksesnya mesti free. Tak heran bisnis Codemi saat itu seperti open online course, semua orang bisa mengajar dan belajar disitu. "Tapi saya pikir, kalau semua gratis, kami tidak bisa make money dong?". Walhasil usaha itu tahun 2014 ditutup Zaki dan pada 2014 akhir ia mengganti konsep bisnisnya. "Kita ubah dari open online course menjadi LMS. Kami menyewakan software Codemi ini ke perusahaan-perusahaan supaya perusahaan bisa mengelola training untuk karyawannya," ujar Zaki dengan penuh keyakinan.

Banyak kawan Zaki yang saat itu skeptis dengan model bisnis dan masa depan Codemi. Tapi Zaki punya keyakinan, lalu ia mengontak 30 orang HR di Jakarta dan menginterview satu per satu. Ternyata dari semua yang ia temui, baru satu perusahaan yang sudah punya LMS, itupun LMS dari perusahaan induknya karena ia perusahaan Inggris. "Tiga bulan setelah itu saya berani mulai menyewakan Codemi. Marketnya masih sangat luas di Indonesia dan kompetitor-kompetitor yang lain harganya luar biasa mahal. Kami tawarkan produk sama dengan harga yang kompetitif dan dibuat di Indonesia, jadi supportnya lumayan cepat," ungkap Zaki.

Model bisnis Codemi ialah SaaS (Software as a Service), pihak perusahaan penyewa membayar sesuai penggunaan. Pihaknnya sudah membuat aplikasinya, ditempatkan di cloud, begitu ada karyawan A yang login maka logonya akan berubah jadi logo perusahaan A. Nah, untuk mendapatkan pelanggan, Zaki menelpon dan mendatangi satu per satu calon pelanggannya seraya menawarkan pilot project. Dalam mencari pelanggan, Zaki fokus menggarap perusahaan besar yang punya karyawan diatas 1.000 orang, khususnya di industri financial services seperti banking, insurance, sekuritas, multifinance serta industri otomotif dan e-commerce. "Karena di perusahaan superbesar itu tingkat kebutuhannya memang tinggi, urgent. Dari sisi budget mereka juga sudah punya," kata pria yang kini sedang menempuh kuliah S1 online di LSPR Jurusan Marketing ini.

Dari sisi konten, Codemi fokus di tiga pengalaman belajar. Pertama, e-learning dan online, belajar sendiri dari video dan pdf. Kedua, belajar formal di dalam kelas. Di sini Codemi bisa mengelola pendaftarannya melalui aplikasi. Sistemnya in-house training, jadi perusahaan mengelola classroom trainingnya sendiri. Pihaknya juga mulai kembangkan public training, bekerjasama dengan provider training di Jakarta untuk memasukkan konten training kelasnya di Codemi. Kalau ada karyawan yang mau ikut training tidak perlu request ke HR, tapi tinggal pilih dari Mobile Apps. Ketiga, collaborative learning atau learning from other. "Di perusahaan besar,  banyak yang  karyawan itu ahli di bidang tertentu, nah Codemi bisa mempertemukan orang yang mau belajar sesuatu di perusahaan ke ekspertnya masing-masing di internal perusahaan melalui sistem," katanya.

Zaki bersyukur karena pertumbuhan bisnisnya dalam empat tahun ini cukup ajaib.  "Tahun 2017-2018 lonjakan user hampir 10 kali lipat, yakni sudah mencapai 2 juta user," katanya. Menurutnya, cepatnya pertumbuhan ini, selain karena kerja keras tim, juga faktor dukungan ekosistem yang sudah siap. "Ekosistemnya terbantu oleh perusahaan-perusahaan provider cloud seperti Google, Amazon, dan Alibab) yang aktif mengedukasi market tentang cloud. Saat kami dekati tahun 2015, market masih banyak yang belum siap," lanjutnya. Tahun depan pihaknya mulai akan menggarap segmen perusahaan skala medium dan mengembangkan produknya dengan menggandeng para trainer di seputar Jakarta untuk membuat video-video training pembelajaran. Kini pihaknya sudah punya 60 video dan menargetkan punya 150 video. 

Djoko Kurniawan, pemerhati bisnis startup melihat Codemi punya potensi bagus untuk berkembang. "Hal yang perlu dilakukan agar bisnis Codemi bisa sustain, meningkatkan brand awareness, terus-menerus melakukan edukasi market, memperbanyak customer segment,  memperluas key partners, dan terus meningkatkan hubungan baik dengan customer dengan memberikan sistem support yang mudah," saran Djoko. Codemi juga mesti terus menambah konten online training bekerja sama dengan lebih banyak konsultan/mentor bisnis, selain harus terus mengembangkan internal programmernya guna mendukung pertumbuhan.

Headline

10 reasons why Indian so success in global career and business

Indians have been successful in global careers and businesses for a variety of reasons. Here are 10 factors that contribute to their success...